wellcome

ahlan wa sahlan be sabakatna

Kamis, 15 Desember 2011

SEJARAH PERS

Dalam pembahasan sejarah pers, mengalami beberapa perkembangan pada setiap periode. Maka dari itu, bisa digolongkan secara garis besar sebagai berikut:

A. Pers Indonesia Masa Penjajahan Belanda

1. Tahun 1615, diawali dengan terbitnya surat kabar tulisan tangan bernama Memoria der Nouvelles. Surat kabar itu ditulis tangan karena memang di Indonesia belum ada mesin cetak. Koran ini tidak hanya dibaca oleh orang Betawi tetapi juga orang-orang Belanda.

2. 7 Agustus 1744, terbit koran bernama Bataviasche Nouvelles yang dipimpin oleh orang Belanda bernama Jan Erman Jordens. Koran itu bentuknya hanya satu lembar yang dicetak dengan tiga kolom. Dari koran ini dapat diketahui mengenai peranan kaum militer Belanda dan sejarah agama kristen di Indonesia. Juga terdapat iklam tentang berita kematian, penguburan, penawaran dan pembelian barang. Dalam koran ini antara judul dan isinya tidak sesuai.

3. Tahun 1775, pemerintah Hindia Belanda mengizinkan Domincus (pengusaha percetakan Belanda di Batavia) untuk menerbitkan koran mingguan dan diberi nama venduniiews (berita lelang). Berisi mengenai iklan dan pengumuman tentang penwaran barang atau lelang.

4. Tahun 1810 (pada masa Deandels), terbit koran baru resmi bernama Bataviasche Koloniale Courant. Berisi tentang segala kegiatan pemerintah sesuai dengan keinginan masyarakat dan membahas pegawai pemerintah, agar setiap orang memperoleh kesempatan untuk membahas yang menyangkut penjajah.

5. Tahun 1812 (ketika Hidia Belanda/ Indonesia jatauh ke tangan Inggris), terbit koran mingguan Java Goverment Gazette dengan pemimpin redaksinya A. H. Habbar. Koran ini memublikasikan kebijakan pemerintah dan terdapat leluconan yang mengritk pemerintah.

6. Tahun 1816 – 1828 (kekuasaan kembali ke Belanda), terbit koran mingguan bernama De Bataviasche Courant.

7. Tahun 1835, surat kabar swasta pertama terbit di Surabaya bernama Soerabajasch Advertentieblad oleh C.F. Smith. Berisi tidak hanya berita dalam negeri tetapi juga luar negeri. Di Semarang, juga terbit koran dengan nama Semarangsche Advertentieblad.

8. Tahun 1851 – 1852, di Jakarta terbit koran dengan nama Bataviasche Advertentieblad dan Java Courant. Surat koran ini berbahasa Belanda.

9. Tahun 1855, surat kabar penduduk asli dengan berbahasa daerah dan melayu terbit pertama kali di Surakarta yang bernama Brumartani diterbitkan oleh Harteveld & Co. Kemudian menyusul seperti Soerat Chabar Bahasa Melaijoe di Surabaya (1856), Soerat Chabar Betawie di Jakarta, Bintang timur di Padang (1865), dan Tjahaja Sijang di Sulawesi Utara (1966).

B. Pers Nasional Masa Penjajahan Belanda

1. Tahun 1907, terbit mingguan bernama Medan Prijaji, dan tahun 1919 koran ini dijadikan koran harian.

2. 20 Mei 1908, (pada awal munculnya oraganisasi Boedi Oetomo). Muncul koran Belanda dengan istilah De Java Ontwaakt (orang jawa bangkit). Pada masa ini koran mulai memasuki wilayah politik .

3. Tahun 1910, surat kabar mulai menuju pers nasional/ kebangsaan, karena tenaga, alat, pimpinan, semua ada di dalam tangan orang-orang Indonesia yang berjuang untuk kepentingan bangsanya. Merupakan pers perjuangan yang digunakan untuk membentuk opini bangsa dalam mencapai kemerdekaan.

4. Tahun 1915 (pasca bubarnya Indische Partij “IP”), muncul surat-surat kabar independen untuk tujuan kebebasan Hindia (Indonesia). Semua media bersomboyan “Hindia lepas dari Belanda”. Seperti Pertimbangan (di Bandung), Goentoer (di Semarang), dan sebagainya.

5. Pada permulaan PD II, di Indonesia terdapat 350 sampai 400 surat kabar harian dan majalah (mingguan dan bulanan). Seperti Soeara Oemoem (di Surabaya), Malang bode (di Malang), dan sebagainya.

6. Pada 7 Sepetember 1931, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang disebut Persbreidel Ordonantie. Dalam ketentuannya gubernur jenderal diberi hal untuk melarang penerbitan tertentu yang dinilai dapat “mengganggu ketertiban umum”.

C. Pers Indonesia Masa Pejajahan Jepang

1. Tahun 1942, Indonesia dijajah oleh Jepang dan surat kabar Belanda ditutup. Segala penerbitan diurus oleh Jepang. Seperti terbitnya koran Sinar Selatan itu modalnya berasal dari Jepang.

2. Sebelum 1942, Jepang sudah tertarik pada penerbitan di Indonesia. Pada tahun 1924-1932, Tuan Ogawa menerbitkan surat kabar Bendee di Solo.

3. Pada zaman penjajahan Jepang, penguasa Jawa-Madura mengatur sarana publikasi dan komunikasi dengan Undang-Undang No. 16. Dua segi yang menonjol dari UU itu adalah berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif.

4. Di pulau Jawa hanya boleh terbit 5 buah harian dalam bahasa Indonesia. Diantaranya Asia Raya (di Jakarta), Tjahaja (di Bandung), Sinar Baroe (di Semarang), Sinar Matahari (di Yogya), dan Soeara Asia (di Surabaya).

5. Pada masa ini, surat-surat kabar di Indonesia hanya sebagai alat pemerintah Jepang. Berita dan karangan yang dimuat hanya yang pro Jepang. Penyebarannya rata-rata antara 20.000-30.000 eksemplar/hari.

6. Pada 14 Agustus 1945 (Jepang menyerah pada sekutu), muncul surat kabar yang didirikan oleh Regering Voorlichtings Dienst (RVD), seperti Warta Indonesia (Jakarta) dan Persatoean (Bandung).

7. Di kota-kota yang diduduki sekutu berdiri surat-surat kabar nasional, seperti di Jakarta Harian Merdeka (BM Diah) dan Harian Rakyat (Sjamsuddin Sutan Makmur).

8. Pada Juni 1949 (setelah persetujuan Roem-Royen), surat kabar nasional mulai bangkit. Pelopor surat kabar setelah revolusi adalah Berita Indonesia (BI).

D. Pers Indonesia Mejelang Kemerdekaan

Menjelang kemerdekaan, mulai dilakukan penerbitan koran Berita Indonesia (BI). BI merupakan cikal bakal Pers Nasional dan harian nasional pertama di Indonesia sesudah kemerdekaan. BI merupakan surat kabar tandingan Berita Gunseikanbu (melalui surat keputusan pemerintah militer Jepang masa pendudukan Sekutu; yang sempat membuat pengumuman-pengumuman yang sifatnya menentang republik). Salah seorang pemrakarsa dari penerbitan BI adalah Eddie Tahsin. Bersama dengan temannya yang lain seperti Sidi Mohammad, Roesli Amran, Suardi Tasrif, Anas Ma’roef, dan bergabung pula Hasjim Mandan dan Abdoel Moerad. Dalam proses percetakan, mereka mengalami kesulitan kertas dan tempat percetakan yang sekiranya tidak diketahui oleh Jepang. Kemudian pemuda Rikuyu (sekarang PJKA) berinisiatif menggunakan percetakan yang lengkap milik Rikuyu di halaman stasiun Kota. Sedangkan pengadaan kertas diusahakan oleh Adam Malik dari Kantor Berita Antara.

Adapun pengedaran BI, dengan sistem dari rumah ke rumah. BI yang dicetak 5000 eksemplar habis tiap kali terbit. BI yang awal pengedarannya dari tangan ke tangan dan jadi rebutan rakyat. BI yang semula dicetak sembunyi-sembunyi kemudian dicetak terang-terangan di De Unie yang juga mencatak Asia Raya dan kemudian terbit secara teratur.

E. Pers Indonesia 1950 – 1959.

1. Pada tahun 1950, Indonesia menjadi Republik Kasatuan dengan UUDS (Undang-undang Dasar sementara). Pada masa ini kebebasan pers tercantum dalam UUDS bagian V yang mengatur hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia yang terdiri dari pasal 7 sampai pasal 34.

2. Pada tahun 1954, berlaku pencabutan aturan tentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda mengenai pers yang tertuang dalam Persbreidel Ordonantie. Aturan tersebut adalah perlakuan penguasa yang kejam terhadap pers. Banyak surat kabar yang dibredel dan banyak wartawan yang ditangkap dan ditahan.

3. Pada tahun 1958, penguasa perang daerah (Peperda) Djakarta Raya Jaya, mengeluarka surat keputusan yang mewajibkan semua penerbitan surat kabar untuk mendaftarkan diri kapda Peperda sebagai syarat meminta Surat Izin Terbit (SIT).

4. Pada tahun 1959, penguasa perang tertinggi (Peperti) juga mewajibkan semua surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia harus mempunyai SIT.

5. Pada tanggal 1 Okotober 1958, dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers Indonesia. Setaip saat SIT dapat dicabut penguasa. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam melaksanakan tugasnya selalu dibayangi ketakutan pencabutan SIT.

6. Selama tahun 1958, telah tercatat 42 peristiwa yang dialami pers, sebagian mengeani pembedrelan, penahanan, dan penganiayaan wartawan.

7. Kebebasan pers 1950 – 1959 yang lazimnya disebut demokrasi liberal, digunakan sebebas-bebasnya oleh pers. Munculnya party bound press (pers dibawah kendali partai politik) seperti Abadi (Masyumi), Duta Masyarakat (NU), Suluh Indonesia (PNI), Harian Rakdjat (PKI), sedangkan Harian Pedoman dianggap sebagai media yang menyaurakan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Inilah sejarah pers yang mengalami pasang surut tiada henti

Referensi

Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 29-46.

Asep Saepul Muhtadi, Jurnalistik; Pendekatan Teori dan Praktik (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 21-24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar