A. Pengertian Dakwah dan Masyarakat Abangan
1.
Munculnya Masyarakat Abangan di Jawa
Pada awal munculnya Islam di nusantara yang
dibawa oleh para pedagang rempah-rempah dari Gujarat dan Arab. Kemudian agama
islam didakwahkan oleh para saudagar muslim dan pada pelaksanaannya agama islam
di Indonesia mudah diterima baik di pusat-pusat perdagangan sepanjang
jalur- jalur laut kepulauan Indonesia yang berkaitan erat dengan pola
perdagangan internasional yang berpusat pada kota pelabuhan seperti Sumatra
Utara,Demak, Jepara, Tuban, Makasar sampai Maluku. Dari pola tersebut jelas
bahwa penyebaran islam berhubungan dengan perdagangan rempah dikepulauan
Indonesia. Pada perkembangan dan penyebaran islam di pulau Jawa, selama tujuh
puluh lima tahun Negara Bandar Islam menguasai kawasan Jawa yang kemudian pada
tahun 1540 kerajaan Demak mencapai kejayaannya. Kemudian kekusaan politik
dipindahkan ke daerah Jawa Tengah, tempat dimana paham hindu telah menyatu
dengan kebudayaan asli selama berabad-abad sebelumnya. Pelaksanaan pola
peng-islam-an di Jawa mulai berkembang dengan adanya saudagar-saudagar asing
yang telah memiliki kehormatan, kekuasaan dan hak untuk membangun masjid. [1]
Islam di jawa pada masa pertumbuhannya sangat
di warnai oleh kebudayaan jawa. Ini disebabkan unsur-unsur para bangsawan jawa
melestarikan tradisi jawa hindu, dan juga karena para wali, sebagai angkatan
pertama mubaligh islam, dididik dalam lingkungan jawa. Mereka tidak mempunyai
hubungan langsung dengan dunia islam di timur tengah.
Pada masa awal tersebut islam didakwahkan
dengan jalan melekatkannya pada kebiasaan- kebiasaan setempat dan dengan
membuatnya sesuatu yang memenuhi kebutuhan orang jawa. Dipihak lain banyak adat
kebiasaan jawa yang dikeramatkan dengan di tambah salah satu bagian ibadah
islam. Islam di jawa pada tahap awalnya memberikan banyak kelonggaran kepada
system kepercayaan sinkretis tempat ajaran hindhu-budda yang bercampur
unsur-unsur asli.[2]
Dalam proses pengislaman di Jawa, terutama di
daerah-daerah tempat tradisi hindu masih berpengaruh, Islam kehilangan sedikit
banyak dari kekakuan ajarannya. Dapat dipahami bahwa salah satu factor dalam
keberhasilan pengislaman ialah kelonggaran-kelonggaran yang diberikannya kepada
adat lama. Akibatnya munculah kaum muslimin Jawa yang disebut abangan.[3]
Dalam konteks historis yang lain, disebutkan
bahwa setelah zaman prasejarah serta kurun kepercayaan animis, Hinduisme tiba
di pulau Jawa. Menurut kebanyakan dugaan, Jawa dan pulau Pulau sekitarnya
menganut agama Hindu dimulai pada abad pertama Masehi. Kerajaan Jawa-Hindu
berlangsung dari abad kedelapan sampai awal abad ke enam belas dan dibagi
menjadi dua bagian, yaitu kerajaan Jawa Tengah dan kerajaan Jawa Timur.
Sedangkan kerajaan Islam lebih kurang pada abad ketiga belas berdiri di
Sumatra. Mulai dari pantai utara, Islam akhirnya mengambil alih kerajaan Hindu
Majapahit pada akhir abad keenambelas.Setelah jatuhnya Majapahit, Islam mulai
merembes ke pedalaman pulau Jawa. Agama Islam telah menjadi agama yang
terkemuka di Jawa selama 350 tahun terakhir.[4]
Meskipun terjadi perubahan-perubahan tersebut,
sebagian besar penduduk Jawa, apa yang dinamakan abangan, sedikit banyak masih
terpengaruh oleh kepercayaan dan amal agama purba .Kepercayaan-kepercayaan
religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiyah
secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah
ditumpangi oleh ajaran Islam.Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan,
penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tata cara pengobatan yang
semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara
pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan,
dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut
sertadalam selametan itu. Selametan dan
lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang tata
cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Hindu-Budhis dengan
unsur islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan.Pandangan dunia
abangan berdasarkan keyakinan tentang kesatuan hakiki seluruh kehidupan dan
seluruh keberadaan. Pandangan ini melihat keberadaan manusia di dalam hubungan
kosmologi, sedangkan manusia perseorangan memainkan peranan yang sangat kecil
dalam dunia alamiyah social seluruhnya.
2.
Dakwah dan Masyarakat Abangan
Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang
selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah.
Kemajuan dan kemunduran umat Islam, sangat berkaitan erat dengan kegiatan
dakwah yang dilakukannya. Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan
suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah
untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara
bertahap menuju perikehidupan yang islami. Dakwah harus direncanakan secara
matang, baik yang menyangkut materinya, tenaga pelaksananya, ataupun metode
yang akan dipergunakannya.[5]
Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk
Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata
bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali
digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan dianggap lebih
cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum
Islam murni (syariah). Dalam
sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa
sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di
Indonesia.
Pendapat lain, bahwa kata
abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang
Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti
aba'an kurang lebih adalah “yang tidak
konsekwen” atau “yang meninggalkan”. Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para
orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syari'at (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an
atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang
yang berarti warna merah.[6]
Menurut Clifford Geertz, yang dikutip oleh
Abuddin Nata, menyatakan bahwa Islam Abangan adalah paham Islam yang dianut
oelh kalangan masyarakat pedesaan Jawa yang benar-benar tidak acuh terhadap
doktrin, terpesona oleh detail keupacaraan. Seorang abangan itu tahu kapan
harus menyelenggarakan slametan dan apa yang harus jadi hidangan
pokoknya, seperti bubur untuk kelahiran, apem untuk kematian. Selain itu ia
juga tahu ala kadarnya tentang apa yang dilambangkan oleh berbagai unsur dalam
hidangan itu (sering kali juga tidak tahu, dan hanya bisa mengatakan bahwa ia
menghidangkan bubur karena orang selalu menghidangkan bubur pada kesempatan
serupa itu), tetapi ia akan sedikit kecewa kalau orang lain memberikan sebuah
tafsiran yang berbeda. Ia toleran terhadap kepercayaan agama: katanya, “Jalan
itu memang banyak.” Kalau orang menyelenggarakan upacara pergantian tahap yang
benar, orang itu bukanlah binatang; kalau orang mengadakan selametan di
bulan puasa, ia bukanlah orang kafir, dan kalau orang mengirim baki untuk
keperluan “bersih desa”, ia bukanlah seorang subversif dan itu cukup. Kalau
orang tidak percaya pada roh-roh atau kalau orang mengira bahwa Tuhan tinggal
di matahari, maka itu adalah urusannya sendiri.[7]
Munculnya abangan pada masyarakat Jawa disebabkan
oleh corak islam yang masuk (syariat dan tasauf) dan proses islamisasi yang
beragam dan berpapasan dengan kebudayaan asli Jawa. [8] Misalnya, di tempat-tempat agama yang masih
kuat, pengaruh islam cenderung mencari kompromi. Hal ini sering berarti timbulnya
kesadaran untuk menciptakan sinkretisasi dengan faktor-faktor budaya lainnya
yang telah datang lebih dahulu. Hasilnya adalah islam sinkretik sebagai
pandangan dunia abangan yang sampai saat ini ditemukan dalam sebagian besar
daerah Jawa tengah dan bagian selatan. [9]
B. Ciri, Tradisi dan Karakteristik Masyarakat Abangan
Ciri-ciri abangan dalam kepercayaan dan amal
dapat dilihat dalam upacara-upacara yang dilakukan, yang meliputi upacara
melakukaan perjalanan. Penyembah roh halus, upacara cocok tanam, dan tata cara
pengobatan. Yang semua upacara tersebut bertumpu
pada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok
dalam tadisi abangan adalah slametan (mengadakan selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum
di kalangan abangan, yang melambangkan persatuan mistik dan sosial dari
orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan hampir dilaksanakan
pada setiap kesempatan yang mempunyai arti upacara bagi orang Jawa, seperti
kehamilan, kelahiran, khitanan, hari raya , dan panen. Tujuan utama dari
slametan adalah mencari keadaan slamet ( selamat ), dalam arti tidak diganggu
oleh kesulitan alamiah atau gangguan ghaib. Slametan bukan meminta kekayaan,
tetapi upacara untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang dapat
membingungkan dan menyedihkan, yang memiskinkan atau mendatangkan penyakit,
juga agar orang tersebut terhindar dari perasaan hendak menyerang orang lain,
atau dari gangguan emosional. Slametan biasanya dilakukan pada malam hari,
setelah terbenamnya matahari. Pelaksana mengundang kerabat dan tetangga ke
rumahnya. Sesudah para tamu berkumpul, tuan rumah menyampaikan kata sambutan
dengan memakai bahasa Jawa Kromo yang menyampaikan maksud diadakannya slametan.
Selanjutnya salah seorang tamu (santri yang tinggal di daerah itu) membacakan
ayat-ayat suci Al-Qur’an dan kemudian dibacakan do’a secara berjama’ah. Setelah
do’a makanan dihidangkan. Kemenyan dibakar selama acara slametan. Setelai acara
selesai para tamu pulang dengan membawa nasi berkat (nasi yang telah di bacakan
do’a). Selain slametan yang sifatnya pribadi, juga diadakan acara slametan
desa, yag terkenal dengan sebutan sedekah bumi. Kadang-kadang seekor kerbau
disembelih, kemudian kepala dan tulangnya di pendam di tempat itu juga.
Bagi abangan, kebiasaan penghormatan kepada
arwah leleuhur (pendiri desa) sama pentingnya dengan penghormatan kepada kuburan
suci yang dianggap keramat. Di Jawa terdapat banyak kuburan yang dianggap
kramat, diantaranya kuburan para wali. Satu benda lagi yang amat dihormati
ialah keris. Dalam kisah-kisah Jawa, keris dipandang sebagai senjata keramat,
mempunyai keampuhan dan kesaktian, serta mempunyai kedudukan diantara kebesaran
seorang raja, maupun diantara pusaka turun-temurun. Menurut kepercayaan
abangan, keris memiliki kesaktian yang dapat berpindah kepada seseorang yang
memegangnya, disamping adanya keris yang bertuah dan membawa keberuntungan.
Golongan abangan percaya pada kemampuan dukun,
yaitu seseorang yang mampu mengendalikan roh-roh yang menjadikannnya alat bagi keinginan
dan hasrat seseorang. Namun yang menyedihkan ada juga golongan santri yang
masih percaya terhdap dukun dan sejenisnya. Untuk memperoleh pengetahuan dalam
mengendalikan roh-roh, orang abangan menuntut ngelmu (pengetahuan atau ilmu
untuk mendapat hubungan dengan roh-roh). Dengan ngelmu tersebut para abangan
berharap akan mendapat kekuasaan, kekayaan, keagungan, dan keselamatan. Ngelmu
juga digunakan untuk melaksanakan balasan dalam bentuk musibah terhadap
seseorang yang dianggap atau pernah merugikannya.[10]
Perlu diketahui bahwa kepercayaan agama para
abangan merupakan hasil dari satu sintesis berabad-abad dar kepercayaan animis,
Budha-Hindu, dan Islam.
Menurut
kaum abangan, ritual keagamaan haji ke Makkah yang dilakukan oleh kaum santri
merupakan sikap yang tidak penting dan hanya membuang-buang uang
saja.Sebenarnya mereka hanya ingin dihormati setelah melakukan ibadah haji.
Namun serangan kaum santri terhadap golongan tersebut tidak kalah tajam. Mereka
menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala dan mereka mempunyai tendensi yang
jelas untuk menganggap setiap orang diluar kelompoknya adalah komunis.[11]
Disebutkan oleh Abuddin Nata, bahwa Islam
abangan merupakan salah satu corak paham keagamaan dari Islam kultural, selain
Islam Santri dan Islam Priyayi. Islam abangan merupakan hasil sintesis beberapa
unsur agama seperti Islam, Hindu dan Buddha, seperti yang telah disebutkan
diatas, akan tetapi Islam abangan tidak identik dengan sinkreteisme. Hal ini
berbeda dengan pendapat Greeze yang mengatakan bahwa Islam abangan adalah paham
keagamaan yang bercorak sinkretis. Abuddin Nata menyatakan bahwa pada sinkreteisme
yang terjadi adalah perpaduan dari beberapa unsur agama (seperti Islam, Hindu,
Buddha dan sebagainya) lalu diolah menjadi bentuk agama baru. Sedangkan pada
Islam Abangan sebagaimana disebutkan diatas, titik tolak atau home basenya
adalah Islam sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan Hadits, namun dalam
pemahaman, pengahyatan dan praktiknya dipengaruhi oleh latar belakang budaya
dari orang yang memahaminya.[12]
Dalam ensiklopedi dijelaskan pengertian sinkreteisme adalah fenomena
bercampurnya praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan dari sebuah agama
dengan agama lainnya sehingga menciptakan tradisi yang baru dan berbeda.[13]
Dengan demikian, ke-Islaman seorang abangan
ditandai oleh komitmennya yang kuat pada komunitas Islam, walaupun dalam
prakteknya ia tidak tertarik untuk mengamalkan syari’at Islam. Dalam hal ini
yang diamalkan mereka adalah Islam yang terwujud dalam bentuk selametan dan
upacara yang maknanya terkait pada upaya mencari perlindungan dan keselamatan
diri kepada Tuhan, dari hal-hal yang dapat membahayakan perjalanan hidupnya.
C. Strategi, Metode dan Materi Dakwah di Masyarakat Abangan
1. Strategi dan metode
Cara penyampaian dakwah adalah sebagian dari
dakwah itu sendiri. Ketinggian mutu, pengertian dan cita-cita dakwah saja belum
cukup kalau dilaksanakan dengan penyampaian yang salah dan tidak tepat. Ada
kemungkinan metode dan cara yang digunakan itu justru dapat memperburuk suasana
atau menyebabkan manusia lari dari dakwah yang disampaikannya, karena
disampaikan dengan tidak tepat.[14]
Teori tersebut diatas sesuai jika diterapkan
dalam dakwah kepada masyarakat Islam abangan. Dimana mereka sejatinya adalah
Muslim akan tetapi memiliki perbedaan dalam hal tradisi. Misalnya jika dalam
Islam pada umumnya, tidak dikenal adanya tradisi upacara cocok tanam, dan tata
cara pengobatan, maka dalam masyarakat Islam abangan adalah sebaliknya.
Sehingga sebaiknya seorang da’i melakukan dakwah pada muslim abangan dengan
cara yang tepat dan menarik serta mudah diterima dan dicerna, seorang da’i
harus berani mengatakan yang benar walaupun pahit. Dia harus tegas dan terus
terang supaya masyarakat Islam abangan dapat mengenal kebenaran yang
disampaikannya.
Para da’i perlu memahami jiwa masyarakat Islam
abangan dan psikologis sosial yang berkembang, dan mengetahui kunci hati agar
dapat membuka pintu-pintu hati dan memasukkan dakwahnya kepada mereka. Jagan
terburu-buru dengan sekaligus menyampaikan sesuatu yang dibenci oleh masyarakat
Islam abangan, agar mereka tidak kaget dan terkejut. Seorang juru dakwah terlebih
dahulu harus mengetahui dari mana ia harus memulai dan bagaimana harus
memulainya, setelah melalui pengkajian terkait denga karakteristik masyarakat
abangan, kemudian penyaringan dan persiapan matang terhadap segala sesuatu yang
diperlukannya dalam berdakwah kepada masyarakat Islam abangan.
2. Materi
Sebelum seorang da’i menyampaikan dakwahnya
kepada masyarakat Islam abangan, seorang da’i harus menentukan materi dan tema
yang akan dibicarakan supaya para pendengarnya dapat mengambil manfaat yang
nyata dari dakwah yang disampaikannya. Seorang da’i harus memelihara
sistematika uraian terhadap materi dan tema yang dibicarakannya dengan
sistematika yang dapat mendukung dakwahnya agar mereka dapat meyakini dan
menerima apa yang disampaikannya. Seorang da’i harus mampu memadukan akal,
perasaan, dan hati nurani para masyarakat Islam abangan dengan cara
penyampaiannya. Jangan berbicara dengan dasar akal semata-mata dan membiarkan
perasaan dan hati nurani dalam ketandusan, dan tidak pula berbicara semata-mata
berdasarkan hatu nurani dengan mengabaikan kemantapan akal fikiran.[15]
Beberapa hal yang sekiranya patut untuk
disampaikan oleh para da’i kepada masyarakat Islam abangan adalah masalah yang
berkaitan dengan pembinaan akhlak salimah, keimanan yang benar, masalah al-insan,
tujuan program, status dan tujuan hidup manusia di dunia, dan tujuan akhir yang
harus dicapainya, al-musawah, persamaan manusia dihadapan Allah SWT dan
al-’adalah, keadilan yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia dalam menata
kehidupannya.
Jika dalam masyarakat abangan, mereka memiliki
ciri dan tradisi yang berbeda dengan ajaran Islam, misalnnya mereka umumnya
tinggal di pedesaan yang jauh dari pengaruh era globalisasi, selain itu mereka
juga memiliki upacara-upacara khusus seperti upacara ketika akan memulai
bercocok tanam atau upacara perjalanan, dan sebagainya, kemudian mereka juga
memiliki karakteristik tersendiri yaitu disamping mereka mempercayai akan
adanya Allah sebagai Tuhan mereka, akan tetapi mereka juga melakukan sesembahan
kepada roh nenek moyang, hal demikian menjadikan masalah akidah menjadi materi
atau tema utama yang harus disampaikan seorang da’i kepada masyarakat Islam
abangan.
[2] Zaini Muchtarom,
Islam di Jawa; Perspektif
Santri & Abangan, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hlm. 46-47.
[3]http://www.scribd.com/doc/20248408/Dialektika-Islam-Dengan-Budaya-Jawa-txt. Diakses 2
november 2011
[6] Geertz,
Clifford, The Religion of Java, University Of Chicago Press 1976, Lihat http://id. Wikipedia.org /wiki/Abangan. Diakses pada 1
November 2011.
[7] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1989), hlm. 172-173. Lihat. Abuddin Nata, Peta Keragaman
Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.
181.
[8]http://hbis.wordpress.com/2009/12/20/mistisisme-simbolik-dalam-tradisi-islam-jawa/. Diakses 2 November 2011.
[9] Acep Aripudin
& Syukriadi Sambas, Dakwah Damai
Pengantar Dakwah
antar Budaya, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007), hlm. 98-99.
[12] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran...., hlm. 179-180.
[13] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern Jilid 5
(Bandung: Mizan, 2001), hlm. 176.
[14] Syaikh Musthafa Masykur, Fiqh Dakwah (Jakarta: al-I’tishom Cahaya
Umat, 2005), hlm. 113.
bagus sekali. memberi reverensi tambahan bagi saya
BalasHapus