wellcome

ahlan wa sahlan be sabakatna

Senin, 19 Desember 2011

Dakwah pada Masyarakat Abangan


A.      Pengertian Dakwah dan Masyarakat Abangan
1.         Munculnya Masyarakat Abangan di Jawa
Pada awal munculnya Islam di nusantara yang dibawa oleh para pedagang rempah-rempah dari Gujarat dan Arab. Kemudian agama islam didakwahkan oleh para saudagar muslim dan pada pelaksanaannya agama islam di Indonesia mudah diterima baik di pusat-pusat perdagangan sepanjang jalur- jalur laut kepulauan Indonesia yang berkaitan erat dengan pola perdagangan internasional yang berpusat pada kota pelabuhan seperti Sumatra Utara,Demak, Jepara, Tuban, Makasar sampai Maluku. Dari pola tersebut jelas bahwa penyebaran islam berhubungan dengan perdagangan rempah dikepulauan Indonesia. Pada perkembangan dan penyebaran islam di pulau Jawa, selama tujuh puluh lima tahun Negara Bandar Islam menguasai kawasan Jawa yang kemudian pada tahun 1540 kerajaan Demak mencapai kejayaannya. Kemudian kekusaan politik dipindahkan ke daerah Jawa Tengah, tempat dimana paham hindu telah menyatu dengan kebudayaan asli selama berabad-abad sebelumnya. Pelaksanaan pola peng-islam-an di Jawa mulai berkembang dengan adanya saudagar-saudagar asing yang telah memiliki kehormatan, kekuasaan dan hak untuk membangun masjid. [1]
Islam di jawa pada masa pertumbuhannya sangat di warnai oleh kebudayaan jawa. Ini disebabkan unsur-unsur para bangsawan jawa melestarikan tradisi jawa hindu, dan juga karena para wali, sebagai angkatan pertama mubaligh islam, dididik dalam lingkungan jawa. Mereka tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia islam di timur tengah.
Pada masa awal tersebut islam didakwahkan dengan jalan melekatkannya pada kebiasaan- kebiasaan setempat dan dengan membuatnya sesuatu yang memenuhi kebutuhan orang jawa. Dipihak lain banyak adat kebiasaan jawa yang dikeramatkan dengan di tambah salah satu bagian ibadah islam. Islam di jawa pada tahap awalnya memberikan banyak kelonggaran kepada system kepercayaan sinkretis tempat ajaran hindhu-budda yang bercampur unsur-unsur asli.[2]
Dalam proses pengislaman di Jawa, terutama di daerah-daerah tempat tradisi hindu masih berpengaruh, Islam kehilangan sedikit banyak dari kekakuan ajarannya. Dapat dipahami bahwa salah satu factor dalam keberhasilan pengislaman ialah kelonggaran-kelonggaran yang diberikannya kepada adat lama. Akibatnya munculah kaum muslimin Jawa yang disebut abangan.[3]
Dalam konteks historis yang lain, disebutkan bahwa setelah zaman prasejarah serta kurun kepercayaan animis, Hinduisme tiba di pulau Jawa. Menurut kebanyakan dugaan, Jawa dan pulau Pulau sekitarnya menganut agama Hindu dimulai pada abad pertama Masehi. Kerajaan Jawa-Hindu berlangsung dari abad kedelapan sampai awal abad ke enam belas dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu kerajaan Jawa Tengah dan kerajaan Jawa Timur. Sedangkan kerajaan Islam lebih kurang pada abad ketiga belas berdiri di Sumatra. Mulai dari pantai utara, Islam akhirnya mengambil alih kerajaan Hindu Majapahit pada akhir abad keenambelas.Setelah jatuhnya Majapahit, Islam mulai merembes ke pedalaman pulau Jawa. Agama Islam telah menjadi agama yang terkemuka di Jawa selama 350 tahun terakhir.[4]
Meskipun terjadi perubahan-perubahan tersebut, sebagian besar penduduk Jawa, apa yang dinamakan abangan, sedikit banyak masih terpengaruh oleh kepercayaan dan amal agama purba .Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiyah secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran Islam.Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tata cara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut sertadalam selametan itu. Selametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang tata cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Hindu-Budhis dengan unsur islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan.Pandangan dunia abangan berdasarkan keyakinan tentang kesatuan hakiki seluruh kehidupan dan seluruh keberadaan. Pandangan ini melihat keberadaan manusia di dalam hubungan kosmologi, sedangkan manusia perseorangan memainkan peranan yang sangat kecil dalam dunia alamiyah social seluruhnya.
2.         Dakwah dan Masyarakat Abangan
Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam, sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang islami. Dakwah harus direncanakan secara matang, baik yang menyangkut materinya, tenaga pelaksananya, ataupun metode yang akan dipergunakannya.[5]
Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia.
Pendapat lain, bahwa kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah yang tidak konsekwen atau yang meninggalkan”. Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syari'at (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah.[6]
Menurut Clifford Geertz, yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyatakan bahwa Islam Abangan adalah paham Islam yang dianut oelh kalangan masyarakat pedesaan Jawa yang benar-benar tidak acuh terhadap doktrin, terpesona oleh detail keupacaraan. Seorang abangan itu tahu kapan harus menyelenggarakan slametan dan apa yang harus jadi hidangan pokoknya, seperti bubur untuk kelahiran, apem untuk kematian. Selain itu ia juga tahu ala kadarnya tentang apa yang dilambangkan oleh berbagai unsur dalam hidangan itu (sering kali juga tidak tahu, dan hanya bisa mengatakan bahwa ia menghidangkan bubur karena orang selalu menghidangkan bubur pada kesempatan serupa itu), tetapi ia akan sedikit kecewa kalau orang lain memberikan sebuah tafsiran yang berbeda. Ia toleran terhadap kepercayaan agama: katanya, “Jalan itu memang banyak.” Kalau orang menyelenggarakan upacara pergantian tahap yang benar, orang itu bukanlah binatang; kalau orang mengadakan selametan di bulan puasa, ia bukanlah orang kafir, dan kalau orang mengirim baki untuk keperluan “bersih desa”, ia bukanlah seorang subversif dan itu cukup. Kalau orang tidak percaya pada roh-roh atau kalau orang mengira bahwa Tuhan tinggal di matahari, maka itu adalah urusannya sendiri.[7]
Munculnya abangan pada masyarakat Jawa disebabkan oleh corak islam yang masuk (syariat dan tasauf) dan proses islamisasi yang beragam dan berpapasan dengan kebudayaan asli Jawa. [8] Misalnya, di tempat-tempat agama yang masih kuat, pengaruh islam cenderung mencari kompromi. Hal ini sering berarti timbulnya kesadaran untuk menciptakan sinkretisasi dengan faktor-faktor budaya lainnya yang telah datang lebih dahulu. Hasilnya adalah islam sinkretik sebagai pandangan dunia abangan yang sampai saat ini ditemukan dalam sebagian besar daerah Jawa tengah dan bagian selatan. [9]

B.       Ciri, Tradisi dan Karakteristik Masyarakat Abangan
Ciri-ciri abangan dalam kepercayaan dan amal dapat dilihat dalam upacara-upacara yang dilakukan, yang meliputi upacara melakukaan perjalanan. Penyembah roh halus, upacara cocok tanam, dan tata cara pengobatan. Yang semua upacara tersebut bertumpu pada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam tadisi abangan adalah slametan (mengadakan selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di kalangan abangan, yang melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan hampir dilaksanakan pada setiap kesempatan yang mempunyai arti upacara bagi orang Jawa, seperti kehamilan, kelahiran, khitanan, hari raya , dan panen. Tujuan utama dari slametan adalah mencari keadaan slamet ( selamat ), dalam arti tidak diganggu oleh kesulitan alamiah atau gangguan ghaib. Slametan bukan meminta kekayaan, tetapi upacara untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membingungkan dan menyedihkan, yang memiskinkan atau mendatangkan penyakit, juga agar orang tersebut terhindar dari perasaan hendak menyerang orang lain, atau dari gangguan emosional. Slametan biasanya dilakukan pada malam hari, setelah terbenamnya matahari. Pelaksana mengundang kerabat dan tetangga ke rumahnya. Sesudah para tamu berkumpul, tuan rumah menyampaikan kata sambutan dengan memakai bahasa Jawa Kromo yang menyampaikan maksud diadakannya slametan. Selanjutnya salah seorang tamu (santri yang tinggal di daerah itu) membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan kemudian dibacakan do’a secara berjama’ah. Setelah do’a makanan dihidangkan. Kemenyan dibakar selama acara slametan. Setelai acara selesai para tamu pulang dengan membawa nasi berkat (nasi yang telah di bacakan do’a). Selain slametan yang sifatnya pribadi, juga diadakan acara slametan desa, yag terkenal dengan sebutan sedekah bumi. Kadang-kadang seekor kerbau disembelih, kemudian kepala dan tulangnya di pendam di tempat itu juga.
Bagi abangan, kebiasaan penghormatan kepada arwah leleuhur (pendiri desa) sama pentingnya dengan penghormatan kepada kuburan suci yang dianggap keramat. Di Jawa terdapat banyak kuburan yang dianggap kramat, diantaranya kuburan para wali. Satu benda lagi yang amat dihormati ialah keris. Dalam kisah-kisah Jawa, keris dipandang sebagai senjata keramat, mempunyai keampuhan dan kesaktian, serta mempunyai kedudukan diantara kebesaran seorang raja, maupun diantara pusaka turun-temurun. Menurut kepercayaan abangan, keris memiliki kesaktian yang dapat berpindah kepada seseorang yang memegangnya, disamping adanya keris yang bertuah dan membawa keberuntungan.
Golongan abangan percaya pada kemampuan dukun, yaitu seseorang yang mampu mengendalikan roh-roh yang menjadikannnya alat bagi keinginan dan hasrat seseorang. Namun yang menyedihkan ada juga golongan santri yang masih percaya terhdap dukun dan sejenisnya. Untuk memperoleh pengetahuan dalam mengendalikan roh-roh, orang abangan menuntut ngelmu (pengetahuan atau ilmu untuk mendapat hubungan dengan roh-roh). Dengan ngelmu tersebut para abangan berharap akan mendapat kekuasaan, kekayaan, keagungan, dan keselamatan. Ngelmu juga digunakan untuk melaksanakan balasan dalam bentuk musibah terhadap seseorang yang dianggap atau pernah merugikannya.[10]
Perlu diketahui bahwa kepercayaan agama para abangan merupakan hasil dari satu sintesis berabad-abad dar kepercayaan animis, Budha-Hindu, dan Islam.
 Menurut kaum abangan, ritual keagamaan haji ke Makkah yang dilakukan oleh kaum santri merupakan sikap yang tidak penting dan hanya membuang-buang uang saja.Sebenarnya mereka hanya ingin dihormati setelah melakukan ibadah haji. Namun serangan kaum santri terhadap golongan tersebut tidak kalah tajam. Mereka menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala dan mereka mempunyai tendensi yang jelas untuk menganggap setiap orang diluar kelompoknya adalah komunis.[11]
Disebutkan oleh Abuddin Nata, bahwa Islam abangan merupakan salah satu corak paham keagamaan dari Islam kultural, selain Islam Santri dan Islam Priyayi. Islam abangan merupakan hasil sintesis beberapa unsur agama seperti Islam, Hindu dan Buddha, seperti yang telah disebutkan diatas, akan tetapi Islam abangan tidak identik dengan sinkreteisme. Hal ini berbeda dengan pendapat Greeze yang mengatakan bahwa Islam abangan adalah paham keagamaan yang bercorak sinkretis. Abuddin Nata menyatakan bahwa pada sinkreteisme yang terjadi adalah perpaduan dari beberapa unsur agama (seperti Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya) lalu diolah menjadi bentuk agama baru. Sedangkan pada Islam Abangan sebagaimana disebutkan diatas, titik tolak atau home basenya adalah Islam sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan Hadits, namun dalam pemahaman, pengahyatan dan praktiknya dipengaruhi oleh latar belakang budaya dari orang yang memahaminya.[12] Dalam ensiklopedi dijelaskan pengertian sinkreteisme adalah fenomena bercampurnya praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan dari sebuah agama dengan agama lainnya sehingga menciptakan tradisi yang baru dan berbeda.[13]
Dengan demikian, ke-Islaman seorang abangan ditandai oleh komitmennya yang kuat pada komunitas Islam, walaupun dalam prakteknya ia tidak tertarik untuk mengamalkan syari’at Islam. Dalam hal ini yang diamalkan mereka adalah Islam yang terwujud dalam bentuk selametan dan upacara yang maknanya terkait pada upaya mencari perlindungan dan keselamatan diri kepada Tuhan, dari hal-hal yang dapat membahayakan perjalanan hidupnya.

C.      Strategi, Metode dan Materi Dakwah di Masyarakat Abangan
1.      Strategi dan metode
Cara penyampaian dakwah adalah sebagian dari dakwah itu sendiri. Ketinggian mutu, pengertian dan cita-cita dakwah saja belum cukup kalau dilaksanakan dengan penyampaian yang salah dan tidak tepat. Ada kemungkinan metode dan cara yang digunakan itu justru dapat memperburuk suasana atau menyebabkan manusia lari dari dakwah yang disampaikannya, karena disampaikan dengan tidak tepat.[14]
Teori tersebut diatas sesuai jika diterapkan dalam dakwah kepada masyarakat Islam abangan. Dimana mereka sejatinya adalah Muslim akan tetapi memiliki perbedaan dalam hal tradisi. Misalnya jika dalam Islam pada umumnya, tidak dikenal adanya tradisi upacara cocok tanam, dan tata cara pengobatan, maka dalam masyarakat Islam abangan adalah sebaliknya. Sehingga sebaiknya seorang da’i melakukan dakwah pada muslim abangan dengan cara yang tepat dan menarik serta mudah diterima dan dicerna, seorang da’i harus berani mengatakan yang benar walaupun pahit. Dia harus tegas dan terus terang supaya masyarakat Islam abangan dapat mengenal kebenaran yang disampaikannya.
Para da’i perlu memahami jiwa masyarakat Islam abangan dan psikologis sosial yang berkembang, dan mengetahui kunci hati agar dapat membuka pintu-pintu hati dan memasukkan dakwahnya kepada mereka. Jagan terburu-buru dengan sekaligus menyampaikan sesuatu yang dibenci oleh masyarakat Islam abangan, agar mereka tidak kaget dan terkejut. Seorang juru dakwah terlebih dahulu harus mengetahui dari mana ia harus memulai dan bagaimana harus memulainya, setelah melalui pengkajian terkait denga karakteristik masyarakat abangan, kemudian penyaringan dan persiapan matang terhadap segala sesuatu yang diperlukannya dalam berdakwah kepada masyarakat Islam abangan.
2.      Materi
Sebelum seorang da’i menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Islam abangan, seorang da’i harus menentukan materi dan tema yang akan dibicarakan supaya para pendengarnya dapat mengambil manfaat yang nyata dari dakwah yang disampaikannya. Seorang da’i harus memelihara sistematika uraian terhadap materi dan tema yang dibicarakannya dengan sistematika yang dapat mendukung dakwahnya agar mereka dapat meyakini dan menerima apa yang disampaikannya. Seorang da’i harus mampu memadukan akal, perasaan, dan hati nurani para masyarakat Islam abangan dengan cara penyampaiannya. Jangan berbicara dengan dasar akal semata-mata dan membiarkan perasaan dan hati nurani dalam ketandusan, dan tidak pula berbicara semata-mata berdasarkan hatu nurani dengan mengabaikan kemantapan akal fikiran.[15]
Beberapa hal yang sekiranya patut untuk disampaikan oleh para da’i kepada masyarakat Islam abangan adalah masalah yang berkaitan dengan pembinaan akhlak salimah, keimanan yang benar, masalah al-insan, tujuan program, status dan tujuan hidup manusia di dunia, dan tujuan akhir yang harus dicapainya, al-musawah, persamaan manusia dihadapan Allah SWT dan al-’adalah, keadilan yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia dalam menata kehidupannya.
Jika dalam masyarakat abangan, mereka memiliki ciri dan tradisi yang berbeda dengan ajaran Islam, misalnnya mereka umumnya tinggal di pedesaan yang jauh dari pengaruh era globalisasi, selain itu mereka juga memiliki upacara-upacara khusus seperti upacara ketika akan memulai bercocok tanam atau upacara perjalanan, dan sebagainya, kemudian mereka juga memiliki karakteristik tersendiri yaitu disamping mereka mempercayai akan adanya Allah sebagai Tuhan mereka, akan tetapi mereka juga melakukan sesembahan kepada roh nenek moyang, hal demikian menjadikan masalah akidah menjadi materi atau tema utama yang harus disampaikan seorang da’i kepada masyarakat Islam abangan.


[1] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, (Yogyakarta: EULE BOOK, 2009), hlm. 131.
[2] Zaini Muchtarom, Islam di Jawa; Perspektif Santri & Abangan, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002),  hlm. 46-47.
[4] Zaini Muchtarom, Islam di Jawa........, hlm. 55.
[5] Didin Hafidhudin, Dakawah Aktual (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 76-77.
[6] Geertz, Clifford, The Religion of Java, University Of Chicago Press 1976, Lihat http://id. Wikipedia.org /wiki/Abangan. Diakses pada 1 November 2011.
[7] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 172-173. Lihat. Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 181.
[9] Acep Aripudin & Syukriadi Sambas, Dakwah Damai Pengantar Dakwah antar Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 98-99.
[11] Zaini  Muchtarom.Santri dan Abangan di Jawa. (Jakarta : INIS, 1988), hlm. 60

[12] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran...., hlm. 179-180.
[13] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern Jilid 5 (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 176.
[14] Syaikh Musthafa Masykur, Fiqh Dakwah (Jakarta: al-I’tishom Cahaya Umat, 2005), hlm. 113.
[15] Ibid., 114.

1 komentar: