wellcome

ahlan wa sahlan be sabakatna

Senin, 19 Desember 2011

Interrelasi antara Agama dan Politik

A.    Agama dan Politik
1.      Hubungan agama dan politik
Mengenai pengaruh  agama terhadap politik perlu diketahui terlebih dahulu bahwa sistem politik menyangkut masalah siapa pemegang kekuasaan; pembagian kekuasaan antara rakyat dan penyelenggara negara, hak dan kewajiban rakyat, siapa pemegang kekuasaan membuat undang-undang, melaksanakan dan mengawasi undang-undang. Masalah ini juga tidak terlepas dari pandangan terhadap individu dan masyarakat yang berhulu dari pandangan terhadap kehidupan, alam, manusia dan Tuhan yang merupakan esensi ajaran agama. Lahirlah berbagai sistem politik dan kedaulatan: ada sistem otoriter dan demokratis, ada sistem kedaulatan rakyat (demokrasi), kedaulatan Tuhan (teokrasi), dan kedaulatan sekelompok orang tertentu (aristokrasi). Sistem kekuasaan dan kedaulatan ini selanjutnya melahirkan pula berbagai subsistem, seperti sistem pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif (Trias Politika), serta ada pula sistem yang tidak memisahkan antara kekuasaan tersebut.[1]
Pendapat bahwa kepala negera harus yang bertakwa kepada Tuhan, harus seorang laki-laki misalnya, adalah pengaruh agama dalam kehidupan politik. Bahwa demokrasi pun dapat ditelusuri dari ajaran agama, seperti ajaran wajib bermusyawarah dalam masalah kehidupan bersama.
Para Sosiolog memang tidak memandang dengan sebelah mata terhadap berbagai peran yang dapat dimainkan agama dalam proses-proses politik di tengah masyarakat. Peter Berger misalnya, yang mencoba mensintesiskan pandangan-pandangan Mark, Weber, dan Durkheim, menggambarkan agama mampu melegitimasi atau menentang kekuasaan.[2]
Max Weber, dalam bukunya Sosiologi Agama, mengatakan bahwa penggunaan kekuatan atau kekuasaan dalam komunitas politik dapat mempengaruhi kondisi sosial suatu negara. Kekuasaan adalah hal primer yang diperankan dalam politik. Akan tetapi, menurut Weber, harus ada internalisasi suatu ajaran agama ke dalam masalah politik. Jika tidak, maka politik tersebut hanya akan menjadi brutalitas  belaka. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, agama mampu melegitimasi atau menentang kekuasaan.[3]

2.      Ibnu Kholdun: Peran Agama terhadap Negara
Ibnu Kholdun berpendapat bahwa peranan agama sangat besar dalam mendirikan negara yang besar. Menurutnya setiap negara yang luas daerah kekuasaannya pasti didasari oleh agama, baik yang disiarkan oleh seorang nabi (nubuwwah) atau seruan kebenaran (da’watu haqq).[4] Hal ini disebabkan karena kekuasaan hanya bisa diperoleh dengan kemenangan yang berasal dari kuatnya solidaritas sosial yang bersatu dalam tujuan yang sama. Ia melihat bahwa peranan agama dalam mengadakan suatu persatuan yang hebat dikalangan rakyat adalah sedemikian rupa sehingga tidak dapat ditandingi oleh faktor apapun juga di dunia ini. Menurut Ibnu Kholdun persatuan suatu negara bukan merupakan usaha manusia akan tetapi taufiq atau perkenaan dari Allah.[5]
Jadi agama mempunyai peranan yang penting dalam memupuk persatuan, dengan jalan menghilangkan persaingan dan perasaan saling iri dan dengki yang biasanya ada terdapat di dalam kelompok solidaritas. Dengan adanya unsur agama ini, seluruh perhatian tertuju kepada kebenaran saja. Dengan adanya faktor agama ini, tidak ada suatu apa pun yang dapat menghalangi kemajuan suatu negara. Dengan adanya agama itu tujuan menjadi satu.[6] 

B.     Politik Islam
Politik Islam adalah sebuah pemerintahan negara Islam yang memiliki tujuan utama, yaitu untuk membentuk sebuah masyarakat Islam, dimana Islam sejatinya memandang masyarakat dari sisi hubungan sosial dan tertib sosial dimana mereka bertempat tinggal. Politik sosial memiliki komitmen bahwa sebuah pemerintahan tidak akan mencegah seseorang untuk melakukan praktek-praktek keagamaan tertentu.
Biasanya politik Islam juga disebut Pemerintahan Agama, yang hanya berpihak pada sebuah agama tertentu. Sebuah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima dan mengakui otoritas absolut dari Islam. Ia berupaya untuk membentuk sebuah tertib sosial yang Islami sesuai dengan ajaran yang dikandung Islam, pelaksanaan syariat, terus menerus berupaya untuk mengarahkan keputusan-keputusan politik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.[7] Melalui pengajaran dan pengkajian fiqh siyasi di berbagai lembaga pendidikan dan penelitian Islam akan dapat melahirkan kader-kader politik Islam yang memiliki wawasan ideologis-politis yang luas dan benar.[8]
Bertentangan dengan pendapat Muhammad Abid al-Jabiri yang mengatakan bahwa dalam islam, agama adalah urusan individu sehingga hubungan antara individu dengan Tuhannya adalah hubungan langsung tanpa perantara, memisahkan agama dari poitik, dalam arti menghindari fungsionalisasi agama untuk tujuan-tujuan politik, dengan pertimbangan agama adalah permanen, sedangkan politik adalah relatif dan berubah: politik digerakkan oleh kepentingan individu dan kelompok sedangkan agama harus dibersihkan dari hal ini, jika tidak, agama akan kehilangan substansi dan ruhnya.[9]
Substansi dan ruh agama adalah mempersatukan bukan mengelompokkan dan agama Islam adalah agama “yang mempersatukan” (tauhid) secara mutlak: satu pada tataran akidah (Tuhan yang Maha Esa) satu pada tataran masyarakat (umat yang satu) dan satu pada tataran pemahaman agama. Sedangkan substansi dan ruh politik adalah mengelompokkan. Politik akan tegak jika terjadi pesilihan atau kapan perselisihan itu mungkin akan terjadi.
Pemisahan agama dari politik seperti diatas, tampaknya tidak senada dengan yang diungkapkan KH. Hasyim Asyari. Beliau mengatakan bahwa agama dan politik merupakan relasi yang erat. Dalam Islam misalnya, kiai pesantren memiliki pengetahuan yang cukup dalam persoalan politik. Dengan ilmu agama yang dimiliki kiai pesantren, maka dapat mengurai persoalan politik beserta pemecahannya. Memang antara agama dan politik merupakan dua eksistensi yang berbeda. Agama berkaitan dengan sesuatu yang sakral dan privat, sedangkan politik berkaitan dengan sesuatu yang publik. Kendati demikian, dua eksistensi tersebut tidak bisa begitu saja dipisahkan. Menurut KH. Hasyim Asyari, kekuasaan politik memiliki kewajiban moral dengan memberikan kebebasan menjalankan agama.[10]
Selanjutnya, Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam, tidak menggunakan Islam sebagai asas dalam politik. Karena Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, baik dari sudut agama, suku, budaya dan lainnya. Indonesia menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa di dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan sang Maha Penciptanya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Muhammad Husein Haikal. Dia berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etis bagi kehidupan bernegara. Al-Quran maupun Sunnah tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Al-Quran mengajarkan beberapa prinsip dalam hidup secara individual maupun bermasyarakat, seperti prinsip tauhid, musyawarah, ketaatan kepada pemimpin, persamaan, keadilan, kebebasan beragama, dan saling menghormati dalam hubungan antarumat beragama. Dan secara teknis tidak ada petunjuk pelaksanaannya, sehingga dapat dimaknai dan dilaksanakan secara lentur, dengan memperhatikan situasi dan kondisi setempat.[11]


C.    Peran Agama dalam Ranah Politik di Indonesia
Jika kita menyimak sejarah perpolitikan di Indonesia, tidak pernah sepi dari keterlibatan para elit agama atau ulama. Dalam sejarah kerajaan Demak, misalnya, pengukuhan Sultan Trenggano sampai Sultan Demak merupakan kesepakatan wali songo. Para wali ketika itu, sebagai representasi ulama, diberi mandat menentukan siapa yang dianggap layak memegang kekuasaan. Demikian pula pada zaman perlawanan terhadap penjajah, tidak sedikit kyai dengan dukungan para santrinya, melakukan perlawanan terhadap Belanda. Harry J. Benda memberi komentar, seperti yang dikutip Imam Suprayogo, bahwa karena keterlibatan ulama dalam politik, maka aparat kolonial Belanda tidak pernah dengan mudah berhubungan dengan umat Islam Indonesia. Seringkali, kata Benda, konsolidasi ekspansi kekuasaan mereka diancam oleh pemberontakan-pemberontakan lokal yang diilhami Islam, baik yang dipimpin oleh penguasa-penguasa Indonesia yang telah mengikuti agama Islam atau pada tingkat desa oleh ulama fanatik.[12]
Terdapat data-data kongkrit yang mengungkapkan betapa sistem kekuasaan yang otoriter sangat takut terhadap kegiatan keagamaan, diantaranya sebagai berikut:[13]
1.      Di zaman orde lama. Rezim Soekarno, pemerintah membuat teks khutbah  yang akan dibacakan oleh para khatib di khutbah jum’at dan yang boleh menyampaikan harus orang yang sudah terbukti sangat loyal terhadap penguasa.
2.      Di zaman orde baru. Rezim Soeharto memaksakan asa tunggal, yaitu pancasila bagi organisasi sosial – politik. Tokoh-tokoh agama yang kritis terhadap pemerintah dijebloskan masuk penjara.
3.      Di zaman reformasi. Sangat sulit untuk menggolkan suatu rancangan undang-undang yang berbau penerapan syariat Islam dalam bermasyarakat. Misalnya Rencana Undang-Undang (RUU) Pendidikan Pasal 12 ayat 1 yang ditolak oleh pihak yang tidak senang karena masuknya pendidikan agama yang diwajibkan di segenap tingkat satuan pendidikan.  

Meskipun peran (keterlibatan) agama telah sedemikan nyata dalam politik sebagaimana ditunjukkan oleh kenyataan sejarah selama ini, namun sebagian politisi dan pengamat dewasa ini masih saja bernada memaksakan kehendak agar ulama jangan ikut campur dalam urusan politik.  Dalam kasus perdebatan siapa yang layak menjadi presiden RI periode ke 5 tahun 1999, misalnya, sangat terlihat arus pendapat yang sengaja menghadap-hadapkan antara ulama dan politis. Mereka menghendaki pembagian wilayah antara agama dan politik.[14]
Kuntowijoyo membagi secara sederhana, mana wilayah agama dan mana wilayah negara atau politik. Menurut kunto, agaman adalah kabar gembira dan peringatan (QS. Al-Baqarah 119), sedasngkan negara adalah kekuatan pemaksa. Agama mempunyai khatib, juru dakwah dan ulama, sedangkan negara mempunyai birokrasi, pengadilan dan tentara. Agama dapat mempengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama, sedangkan negara mempengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan dan perang.  Agama adalah kekuatan dari dalam, sedangakan negara adalah kekuatan dari luar.[15]
Pembagian yang sederhana ini akan menemui kesulitan jika memperhatikan fenomena agama dan politik di Indonesia saat ini. Misalnya, sosok agamawan dan sekaligus politikus, seperti KH. Abdurrahman Wahid dan Amin Rais. Keduanya dikenal sebagai pemimipin agama yang membedani kelahiran partai politik nasionalis – keagamaan yang bersifat terbuka. Fenomena seperti digambarkan itu akan semakin mempersulit batas-batas antara wilayah agama dan politik.
Mungkin, yang lebih relevan dengan realitas yang berkembang saat ini di Indonesia, secara sosio-politik terdapat tiga kelompok yang terlibat dalam proses pergumulan politik. Diantaranya:
1.      Kaum politisi ansich, yaitu mereka yang benar-benar dari latar belakang politisi dan gerakannya murni politik, meski kerap memanfaatkan kaum agamawan dalam proses politiknya.
2.      Kaum agamawan atau elit agama, yaitu mereka yang berasal dari kalangan ulama, murni terjun dalam kepentingan agama dan tidak terlibat dalam politik (partai). Akan tetapi mereka kritis jika terdapat urusan politik yang menyangkut masalah umat.
3.      Kelompok politisi dengan wajah ganda, yaitu mereka yang berlatar belakang kaum agamawan yang kemudian terlibat dalam politik praktis (parpol), atau berlatar belakang politisi yang juga merangkap sebagai agmawan.[16]
Indonesia, sebagai negara yang demokratis harus memperhatikan empat hal dibawah ini agar mampu membendung arus agama dalam peran politik. Diantaranya:
1.      Membebaskan agama dari kerangkeng politik
Sejarah memperlihatkan kepada kita terjadinya peperangan dan kerusakan sebagai akibat dari penyalahgunaan agama. Bangsa-bangsa menjadikan agama untuk saling menghancurkan satu sama lain.
2.      Membangun kesadaran dan kepekaan terhadap kemajemukan dan keragaman
Dalam konteks ini, ketentuan perundangan yang dimiliki suatu Bangsa harus bertolak dan mempertimbangkan kemajemukan. Karena suatu bangsa terdiri dari berbagai macam suku budaya, ras dan agama.
3.      Membangun sikap menghormati agama-agama yang ada.
Berbagai media komunikasi sepatutnya tidak mengekspos hal-hal yang bersifat anti, menghina, atau melecehkan ajaran suatu agama.
4.      Agama-agama harus terus-menerus diaktualisasikan.
Agama-agama diupayakan dapat berfungsi memandu umatnya menjalankan kehidupan yang menghargai pluralitas, dan menghindarkan penggunaan nilai agama dari tujuan politik.

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, kerukunan dan persaudaraan diantara umat beragama, etnik, suku dan golongann adalah sesuatu yang perlu diwujudkan. Dengan cara itu kemajemukan Indonesia akan menjadi potensi kuat dan kita semua terhindar dari bahaya disintegrasi.[17]


[1] Bustanuddin Agus, Agama dan Fenomena Sosial (Jakarta: UI Press, 2010), hlm. 158.
[2] Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 64.
[3] Max Weber, Sosiologi Agama, terj. Muhammad Yamin, dari judul asli The Sociology of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002), hlm. 343.
[4] Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 192.
[5] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara; Penikiran politik Ibnu Khaldun  (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 164 -165. 
[6] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan....., hlm. 165-166.
[7] Ahmed Vaezi, Agama Politik; Nalar Politik Islam, terj. Ali Syahab (Jakarta: Citra, 2006), hlm. 9-11. 
[8] Muhammad Azhar, Filsafat Politik; Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 6.
[9] Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahaman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 112.
[10] Muhammad Ainun Najib, Islam sebagai Etika Politik Perspektif KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) dalam Antologi Kajian Islam (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 2007), hlm. 1-4.
[11] Imam Suprayogo, Interrelasi antara Agama dan Politik: Telaah atas Realitas Peran Politik Elit Agama Kini dan Yang Akan Datang, dalam Kumpulan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Universitas Islam Negri (UIN) Malang Periode 1989-2006, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hlm. 207.
[12] Imam Suprayogo, Interrelasi antara Agama dan Politik........., hlm. 202.
[13] Bustanuddin Agus, Agama........, hlm. 159.
[14] Imam Suprayogo, Interrelasi antara Agama dan Politik..............., hlm. 208.
[15] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 191-192.
[16] Imam Suprayogo, Interrelasi antara Agama dan Politik..............., hlm. 212.
[17] Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama......, hlm. 48-49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar