A. Agama dan Politik
1. Hubungan agama dan politik
Mengenai pengaruh agama terhadap politik perlu diketahui
terlebih dahulu bahwa sistem politik menyangkut masalah siapa pemegang
kekuasaan; pembagian kekuasaan antara rakyat dan penyelenggara negara, hak dan
kewajiban rakyat, siapa pemegang kekuasaan membuat undang-undang, melaksanakan
dan mengawasi undang-undang. Masalah ini juga tidak terlepas dari pandangan
terhadap individu dan masyarakat yang berhulu dari pandangan terhadap
kehidupan, alam, manusia dan Tuhan yang merupakan esensi ajaran agama. Lahirlah
berbagai sistem politik dan kedaulatan: ada sistem otoriter dan demokratis, ada
sistem kedaulatan rakyat (demokrasi), kedaulatan Tuhan (teokrasi), dan
kedaulatan sekelompok orang tertentu (aristokrasi). Sistem kekuasaan dan
kedaulatan ini selanjutnya melahirkan pula berbagai subsistem, seperti sistem
pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif (Trias Politika), serta
ada pula sistem yang tidak memisahkan antara kekuasaan tersebut.[1]
Pendapat bahwa kepala negera harus yang bertakwa kepada
Tuhan, harus seorang laki-laki misalnya, adalah pengaruh agama dalam kehidupan
politik. Bahwa demokrasi pun dapat ditelusuri dari ajaran agama, seperti ajaran
wajib bermusyawarah dalam masalah kehidupan bersama.
Para Sosiolog memang tidak memandang dengan sebelah mata
terhadap berbagai peran yang dapat dimainkan agama dalam proses-proses politik
di tengah masyarakat. Peter Berger misalnya, yang mencoba mensintesiskan
pandangan-pandangan Mark, Weber, dan Durkheim, menggambarkan agama mampu
melegitimasi atau menentang kekuasaan.[2]
Max Weber, dalam bukunya Sosiologi Agama, mengatakan
bahwa penggunaan kekuatan atau kekuasaan dalam komunitas politik dapat
mempengaruhi kondisi sosial suatu negara. Kekuasaan adalah hal primer yang
diperankan dalam politik. Akan tetapi, menurut Weber, harus ada internalisasi
suatu ajaran agama ke dalam masalah politik. Jika tidak, maka politik tersebut
hanya akan menjadi brutalitas belaka.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, agama mampu melegitimasi atau
menentang kekuasaan.[3]
2. Ibnu Kholdun: Peran Agama terhadap Negara
Ibnu Kholdun berpendapat bahwa peranan agama sangat besar
dalam mendirikan negara yang besar. Menurutnya setiap negara yang luas daerah
kekuasaannya pasti didasari oleh agama, baik yang disiarkan oleh seorang nabi (nubuwwah)
atau seruan kebenaran (da’watu haqq).[4]
Hal ini disebabkan karena kekuasaan hanya bisa diperoleh dengan kemenangan yang
berasal dari kuatnya solidaritas sosial yang bersatu dalam tujuan yang sama. Ia
melihat bahwa peranan agama dalam mengadakan suatu persatuan yang hebat
dikalangan rakyat adalah sedemikian rupa sehingga tidak dapat ditandingi oleh
faktor apapun juga di dunia ini. Menurut Ibnu Kholdun persatuan suatu negara
bukan merupakan usaha manusia akan tetapi taufiq atau perkenaan dari Allah.[5]
Jadi agama mempunyai peranan yang penting dalam memupuk
persatuan, dengan jalan menghilangkan persaingan dan perasaan saling iri dan
dengki yang biasanya ada terdapat di dalam kelompok solidaritas. Dengan adanya
unsur agama ini, seluruh perhatian tertuju kepada kebenaran saja. Dengan adanya
faktor agama ini, tidak ada suatu apa pun yang dapat menghalangi kemajuan suatu
negara. Dengan adanya agama itu tujuan menjadi satu.[6]
B. Politik Islam
Politik Islam adalah sebuah pemerintahan
negara Islam yang memiliki tujuan utama, yaitu untuk membentuk sebuah
masyarakat Islam, dimana Islam sejatinya memandang masyarakat dari sisi
hubungan sosial dan tertib sosial dimana mereka bertempat tinggal. Politik
sosial memiliki komitmen bahwa sebuah pemerintahan tidak akan mencegah
seseorang untuk melakukan praktek-praktek keagamaan tertentu.
Biasanya politik Islam juga disebut
Pemerintahan Agama, yang hanya berpihak pada sebuah agama tertentu. Sebuah
pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima dan mengakui otoritas
absolut dari Islam. Ia berupaya untuk membentuk sebuah tertib sosial yang
Islami sesuai dengan ajaran yang dikandung Islam, pelaksanaan syariat, terus
menerus berupaya untuk mengarahkan keputusan-keputusan politik sesuai dengan
tujuan dan nilai-nilai Islam.[7]
Melalui pengajaran dan pengkajian fiqh siyasi di berbagai lembaga
pendidikan dan penelitian Islam akan dapat melahirkan kader-kader politik Islam
yang memiliki wawasan ideologis-politis yang luas dan benar.[8]
Bertentangan dengan pendapat Muhammad Abid
al-Jabiri yang mengatakan bahwa dalam islam, agama adalah urusan individu
sehingga hubungan antara individu dengan Tuhannya adalah hubungan langsung
tanpa perantara, memisahkan agama dari poitik, dalam arti menghindari
fungsionalisasi agama untuk tujuan-tujuan politik, dengan pertimbangan agama
adalah permanen, sedangkan politik adalah relatif dan berubah: politik
digerakkan oleh kepentingan individu dan kelompok sedangkan agama harus
dibersihkan dari hal ini, jika tidak, agama akan kehilangan substansi dan
ruhnya.[9]
Substansi dan ruh agama adalah mempersatukan
bukan mengelompokkan dan agama Islam adalah agama “yang mempersatukan” (tauhid)
secara mutlak: satu pada tataran akidah (Tuhan yang Maha Esa) satu pada tataran
masyarakat (umat yang satu) dan satu pada tataran pemahaman agama. Sedangkan
substansi dan ruh politik adalah mengelompokkan. Politik akan tegak jika
terjadi pesilihan atau kapan perselisihan itu mungkin akan terjadi.
Pemisahan agama dari politik seperti diatas,
tampaknya tidak senada dengan yang diungkapkan KH. Hasyim Asyari. Beliau
mengatakan bahwa agama dan politik merupakan relasi yang erat. Dalam Islam
misalnya, kiai pesantren memiliki pengetahuan yang cukup dalam persoalan politik.
Dengan ilmu agama yang dimiliki kiai pesantren, maka dapat mengurai persoalan
politik beserta pemecahannya. Memang antara agama dan politik merupakan dua
eksistensi yang berbeda. Agama berkaitan dengan sesuatu yang sakral dan privat,
sedangkan politik berkaitan dengan sesuatu yang publik. Kendati demikian, dua
eksistensi tersebut tidak bisa begitu saja dipisahkan. Menurut KH. Hasyim
Asyari, kekuasaan politik memiliki kewajiban moral dengan memberikan kebebasan
menjalankan agama.[10]
Selanjutnya, Indonesia sebagai negara yang
mayoritas penduduknya adalah Islam, tidak menggunakan Islam sebagai asas dalam
politik. Karena Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, baik dari sudut
agama, suku, budaya dan lainnya. Indonesia menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu
agama yang serba lengkap dan bahwa di dalam Islam terdapat sistem
ketatanegaraan. Juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat, yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan sang Maha
Penciptanya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Muhammad Husein Haikal. Dia
berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
terdapat seperangkat tata nilai etis bagi kehidupan bernegara. Al-Quran maupun
Sunnah tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh
umat Islam. Al-Quran mengajarkan beberapa prinsip dalam hidup secara individual
maupun bermasyarakat, seperti prinsip tauhid, musyawarah, ketaatan kepada
pemimpin, persamaan, keadilan, kebebasan beragama, dan saling menghormati dalam
hubungan antarumat beragama. Dan secara teknis tidak ada petunjuk
pelaksanaannya, sehingga dapat dimaknai dan dilaksanakan secara lentur, dengan
memperhatikan situasi dan kondisi setempat.[11]
C. Peran Agama dalam Ranah Politik di Indonesia
Jika kita menyimak sejarah perpolitikan di Indonesia, tidak pernah sepi
dari keterlibatan para elit agama atau ulama. Dalam sejarah kerajaan Demak,
misalnya, pengukuhan Sultan Trenggano sampai Sultan Demak merupakan kesepakatan
wali songo. Para wali ketika itu, sebagai representasi ulama, diberi mandat
menentukan siapa yang dianggap layak memegang kekuasaan. Demikian pula pada
zaman perlawanan terhadap penjajah, tidak sedikit kyai dengan dukungan para
santrinya, melakukan perlawanan terhadap Belanda. Harry J. Benda memberi
komentar, seperti yang dikutip Imam Suprayogo, bahwa karena keterlibatan ulama
dalam politik, maka aparat kolonial Belanda tidak pernah dengan mudah
berhubungan dengan umat Islam Indonesia. Seringkali, kata Benda, konsolidasi
ekspansi kekuasaan mereka diancam oleh pemberontakan-pemberontakan lokal yang
diilhami Islam, baik yang dipimpin oleh penguasa-penguasa Indonesia yang telah
mengikuti agama Islam atau pada tingkat desa oleh ulama fanatik.[12]
Terdapat data-data kongkrit yang mengungkapkan betapa sistem kekuasaan yang
otoriter sangat takut terhadap kegiatan keagamaan, diantaranya sebagai berikut:[13]
1. Di zaman orde lama. Rezim Soekarno, pemerintah membuat teks khutbah yang akan dibacakan oleh para khatib di
khutbah jum’at dan yang boleh menyampaikan harus orang yang sudah terbukti
sangat loyal terhadap penguasa.
2. Di zaman orde baru. Rezim Soeharto memaksakan asa tunggal, yaitu pancasila
bagi organisasi sosial – politik. Tokoh-tokoh agama yang kritis terhadap
pemerintah dijebloskan masuk penjara.
3. Di zaman reformasi. Sangat sulit untuk menggolkan suatu rancangan
undang-undang yang berbau penerapan syariat Islam dalam bermasyarakat. Misalnya
Rencana Undang-Undang (RUU) Pendidikan Pasal 12 ayat 1 yang ditolak oleh pihak
yang tidak senang karena masuknya pendidikan agama yang diwajibkan di segenap
tingkat satuan pendidikan.
Meskipun peran (keterlibatan) agama telah
sedemikan nyata dalam politik sebagaimana ditunjukkan oleh kenyataan sejarah
selama ini, namun sebagian politisi dan pengamat dewasa ini masih saja bernada
memaksakan kehendak agar ulama jangan ikut campur dalam urusan politik. Dalam kasus perdebatan siapa yang layak
menjadi presiden RI periode ke 5 tahun 1999, misalnya, sangat terlihat arus
pendapat yang sengaja menghadap-hadapkan antara ulama dan politis. Mereka
menghendaki pembagian wilayah antara agama dan politik.[14]
Kuntowijoyo membagi secara sederhana, mana
wilayah agama dan mana wilayah negara atau politik. Menurut kunto, agaman
adalah kabar gembira dan peringatan (QS. Al-Baqarah 119), sedasngkan negara
adalah kekuatan pemaksa. Agama mempunyai khatib, juru dakwah dan ulama,
sedangkan negara mempunyai birokrasi, pengadilan dan tentara. Agama dapat
mempengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama, sedangkan negara
mempengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam, sedangakan
negara adalah kekuatan dari luar.[15]
Pembagian yang sederhana ini akan menemui
kesulitan jika memperhatikan fenomena agama dan politik di Indonesia saat ini.
Misalnya, sosok agamawan dan sekaligus politikus, seperti KH. Abdurrahman Wahid
dan Amin Rais. Keduanya dikenal sebagai pemimipin agama yang membedani
kelahiran partai politik nasionalis – keagamaan yang bersifat terbuka. Fenomena
seperti digambarkan itu akan semakin mempersulit batas-batas antara wilayah
agama dan politik.
Mungkin, yang lebih relevan dengan realitas
yang berkembang saat ini di Indonesia, secara sosio-politik terdapat tiga
kelompok yang terlibat dalam proses pergumulan politik. Diantaranya:
1. Kaum politisi ansich, yaitu mereka yang benar-benar dari latar belakang
politisi dan gerakannya murni politik, meski kerap memanfaatkan kaum agamawan
dalam proses politiknya.
2. Kaum agamawan atau elit agama, yaitu mereka yang berasal dari kalangan ulama, murni
terjun dalam kepentingan agama dan tidak terlibat dalam politik (partai). Akan
tetapi mereka kritis jika terdapat urusan politik yang menyangkut masalah umat.
3. Kelompok politisi dengan wajah ganda, yaitu mereka yang berlatar belakang kaum
agamawan yang kemudian terlibat dalam politik praktis (parpol), atau berlatar
belakang politisi yang juga merangkap sebagai agmawan.[16]
Indonesia, sebagai negara yang demokratis
harus memperhatikan empat hal dibawah ini agar mampu membendung arus agama
dalam peran politik. Diantaranya:
1. Membebaskan agama dari kerangkeng politik
Sejarah memperlihatkan kepada kita terjadinya peperangan dan kerusakan
sebagai akibat dari penyalahgunaan agama. Bangsa-bangsa menjadikan agama untuk
saling menghancurkan satu sama lain.
2. Membangun kesadaran dan kepekaan terhadap kemajemukan dan keragaman
Dalam konteks ini, ketentuan perundangan yang dimiliki suatu Bangsa harus
bertolak dan mempertimbangkan kemajemukan. Karena suatu bangsa terdiri dari
berbagai macam suku budaya, ras dan agama.
3. Membangun sikap menghormati agama-agama yang ada.
Berbagai media komunikasi sepatutnya tidak mengekspos hal-hal yang bersifat
anti, menghina, atau melecehkan ajaran suatu agama.
4. Agama-agama harus terus-menerus diaktualisasikan.
Agama-agama diupayakan dapat berfungsi memandu umatnya menjalankan
kehidupan yang menghargai pluralitas, dan menghindarkan penggunaan nilai agama
dari tujuan politik.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk,
kerukunan dan persaudaraan diantara umat beragama, etnik, suku dan golongann
adalah sesuatu yang perlu diwujudkan. Dengan cara itu kemajemukan Indonesia
akan menjadi potensi kuat dan kita semua terhindar dari bahaya disintegrasi.[17]
[2] Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam
Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 64.
[3] Max Weber, Sosiologi Agama, terj. Muhammad Yamin, dari judul asli The
Sociology of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002), hlm. 343.
[5] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara; Penikiran politik Ibnu
Khaldun (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1992), hlm. 164 -165.
[7] Ahmed Vaezi, Agama Politik; Nalar Politik Islam, terj. Ali Syahab
(Jakarta: Citra, 2006), hlm. 9-11.
[8] Muhammad Azhar, Filsafat Politik; Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 6.
[9] Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj.
Mujiburrahaman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 112.
[10] Muhammad Ainun Najib, Islam sebagai Etika Politik Perspektif KH. Hasyim
Asy’ari (1871-1947) dalam Antologi Kajian Islam (Surabaya:
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 2007), hlm. 1-4.
[11] Imam Suprayogo, Interrelasi antara Agama dan Politik: Telaah atas
Realitas Peran Politik Elit Agama Kini dan Yang Akan Datang, dalam Kumpulan
Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Universitas Islam Negri (UIN) Malang Periode
1989-2006, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hlm. 207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar